Belum lama ini saya berkesempatan mengunjungi Desa Sriwidadi, Lamunti II B-3. Lamunti berada dalam kawasan eks Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar yang dicanangkan pada era Presiden Suharto. Ini merupakan kedatangan saya yang kedua di Lamunti dalam sepuluh tahun terakhir.
Sejak tahun 1997/1998, para transmigran dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Banjar (Kalimantan Selatan) mulai berdatangan di wilayah ini. Rencananya, di Desa Sriwidadi akan ditempatkan 300 KK, namun menurut catatan Kepala Desa setempat yang sempat ditempatkan cuma 282 KK.
Kehadiran para transmigran di sini tentu saja terkait dengan mega proyek pembukaan lahan gambut untuk pengembangan sawah. Namun karena pelaksanaannya amburadul, sebagian transmigran tidak bisa tertahan lama di sini. Menurut penuturan M. Fauzi, Kepala Desa Sriwidadi, warga yang masih bertahan di desa ini cuma 183 KK. Kedalaman gambut yang tebal memang tidak memungkinkannya untuk diolah menjadi lahan persawahan.
Setelah tidak jelasnya pengurusan mega proyek ini, belakangan datang perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Globalindo Angung Lestari di wilayah Lamunti. Tanpa persetujuan dengan warga, pihak perusahaan mulai menanami wilayah ini dengan tanaman kelapa sawit. Areal yang ditanam adalah lahan-lahan usaha masyarakat yang terlah bersertifikat. Masing-masing keluarga memiliki lahan usaha seluas 2 hektar.
Meski pada umumnya masyarakat menolak sawit, namun masuknya perusahaan ke wilayah ini tidak mendapatkan tantangan yang berarti, maklum perusahaan dibackup cukup kuat oleh pemerintah daerah setempat. Pemda beralasan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit akan berkontribusi pada pendapatan asli daerah di era otonomi daerah seperti sekarang ini.
Sayangnya mereka lupa, bahwa kawasan gambut dilarang untuk dikembangkan usaha perkebunan kelapa sawit. Lihat saja kerusakan lingkungan yang terjadi akibat mega proyek lahan gambut selama ini. Akankah Pemda tetap memaksakan diri untuk menambah laju kerusakan yang semakin parah? Lalu akan di kemanakan, para warga setelah lahan usahanya dirampas? Marilah berfikir lebih bijak, sebelum segalanya menjadi hancur seperti debu-debu yang beterbangan.
Sejak tahun 1997/1998, para transmigran dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Banjar (Kalimantan Selatan) mulai berdatangan di wilayah ini. Rencananya, di Desa Sriwidadi akan ditempatkan 300 KK, namun menurut catatan Kepala Desa setempat yang sempat ditempatkan cuma 282 KK.
Kehadiran para transmigran di sini tentu saja terkait dengan mega proyek pembukaan lahan gambut untuk pengembangan sawah. Namun karena pelaksanaannya amburadul, sebagian transmigran tidak bisa tertahan lama di sini. Menurut penuturan M. Fauzi, Kepala Desa Sriwidadi, warga yang masih bertahan di desa ini cuma 183 KK. Kedalaman gambut yang tebal memang tidak memungkinkannya untuk diolah menjadi lahan persawahan.
Setelah tidak jelasnya pengurusan mega proyek ini, belakangan datang perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Globalindo Angung Lestari di wilayah Lamunti. Tanpa persetujuan dengan warga, pihak perusahaan mulai menanami wilayah ini dengan tanaman kelapa sawit. Areal yang ditanam adalah lahan-lahan usaha masyarakat yang terlah bersertifikat. Masing-masing keluarga memiliki lahan usaha seluas 2 hektar.
Meski pada umumnya masyarakat menolak sawit, namun masuknya perusahaan ke wilayah ini tidak mendapatkan tantangan yang berarti, maklum perusahaan dibackup cukup kuat oleh pemerintah daerah setempat. Pemda beralasan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit akan berkontribusi pada pendapatan asli daerah di era otonomi daerah seperti sekarang ini.
Sayangnya mereka lupa, bahwa kawasan gambut dilarang untuk dikembangkan usaha perkebunan kelapa sawit. Lihat saja kerusakan lingkungan yang terjadi akibat mega proyek lahan gambut selama ini. Akankah Pemda tetap memaksakan diri untuk menambah laju kerusakan yang semakin parah? Lalu akan di kemanakan, para warga setelah lahan usahanya dirampas? Marilah berfikir lebih bijak, sebelum segalanya menjadi hancur seperti debu-debu yang beterbangan.
Blogged with the Flock Browser
Komentar