Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2009

Cape Deh

Apa yang Anda pikirkan setelah melihat gambar di atas? apakah PWI yang cape? cafe-nya PWI? atau mungkin juga Cafe FWI? atau cafenya milik orang Jawa kelahiran Ambon? atau apa lagi? Silahkan Anda bebas menafsirkan sendiri. Yang pasti, cafe ini memang ada. Tepatnya di samping kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Pembuatannya tentu saja disengaja. Penulisan "Cape PWI" justru akan membuat pengunjung cafe ini penasaran. Ini terbukti, bila hari telah senja, dengan sekejap cafe ini didatangi para muda-mudi untuk sekadar menikmati minuman dan makanan ringan sambil melepas penat. Untuk ukuran kota kecil seperti Kuala Kapuas, kehadiran tempat nongkrong seperti ini tentu saja jadi menarik. Di sini, Cape PWI ini memang satu-satunya tempat nongkrong yang ramai dikunjungi orang. Namun melihat antusiasme anak muda di sini, kabarnya Pemda Kab. Kapuas juga akan mengembangkan cafe-cafe sejenis di pusat kota. Jadi bila Anda berkesempatan hadir di Kuala K

Lamunti

Belum lama ini saya berkesempatan mengunjungi Desa Sriwidadi, Lamunti II B-3. Lamunti berada dalam kawasan eks Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar yang dicanangkan pada era Presiden Suharto. Ini merupakan kedatangan saya yang kedua di Lamunti dalam sepuluh tahun terakhir. Sejak tahun 1997/1998, para transmigran dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Banjar (Kalimantan Selatan) mulai berdatangan di wilayah ini. Rencananya, di Desa Sriwidadi akan ditempatkan 300 KK, namun menurut catatan Kepala Desa setempat yang sempat ditempatkan cuma 282 KK. Kehadiran para transmigran di sini tentu saja terkait dengan mega proyek pembukaan lahan gambut untuk pengembangan sawah. Namun karena pelaksanaannya amburadul, sebagian transmigran tidak bisa tertahan lama di sini. Menurut penuturan M. Fauzi, Kepala Desa Sriwidadi, warga yang masih bertahan di desa ini cuma 183 KK. Kedalaman gambut yang tebal memang tidak memungkinkannya untuk diolah menjadi lahan persawahan. Setelah tidak jelasny

Pembangunanisme

Kata "pembangunan" biasanya selalu dikaitkan dengan pertumbuhan. Maklum saja, terminologi ini berasal dari paham ekonomi liberal yang sangat suka dengan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, saking sukanya dengan pertumbuhan, maka pembangunan itu sendiri pada akhirnya mengabaikan pemerataan. Kita bisa terjadinya kesenjangan pembangunan di mana-mana, baik antara kota dan desa, atau antara jawa dan luar jawa, hingga antara negara maju dengan negara berkembang, seperti halnya Indonesia ini. Akibatnya, hasil-hasil pembangunan pun hanya dinikmati oleh segelintir orang. Selain berakibat pada terciptanya kesenjangan, pembangunan juga sering kali menimbulkan kerusakan sumber-sumber kekayaan alam dan lingkungan hidup. Sebut saja misalnya pembangunan Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar di Kalimantan Tengah. Alih-alih mau meningkatkan produksi beras nasional, PLG justru telah merusak hutan rawa gambut yang merupakan penyangga ekosistem. Akibat pembukaan hutan rawa gambut ini, berjuta-juta

Masuk SD

Hari ini Paksi, mulai menginjakkan kaki di sekolah dasar. Sama seperti abangnya, Paksi juga bersekolah di SD Bruder Nusa Indah, Pontianak. Cuma ada sedikit beda dari Damar, abangnya. Kalau waktu Damar masuk SD dulu, ia harus ditungguin sampai seminggu, tapi Paksi tidak. Maklum, Paksi TK-nya juga di Bruder Nusa Indah, jadi dia sudah mengenal lingkungan ini selama setahun terakhir dan sebagian besar kawannya di TK juga masuk di SD ini. Menurut Paulo Freire, pendidikan haruslah memanusiakan manusia. Katanya, dunia pendidikan saat ini cenderung melanggengkan status quo. Nah loh? Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kesadaran manusia dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yakni: kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Ia menekankan bahwa dunia pendidikan harusnya meningkatkan kesadaran kritis siswa belajarnya, dan bukan malah sebaliknya. Namun, apakah dunia pendidikan kita sudah mengarah ke sana? Jawabnya mungkin bisa anda rasakan saat ini.