Langsung ke konten utama

Herkulana Rini

Hujan sepanjang jalan tak menghalangiku mengunjungi Kampung Kampuh. Dari Pontianak diperlukan waktu sekitar 6 hingga 7 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor untuk sampai di Kampung Kampuh. Sampai di Bonti, masih ditemukan jalan beraspal. Namun lepas ibu kota kecamatan itu kita hanya akan menemukan jalan tanah yang kadang sangat licin di kala hujan.

Beberapa kali kendaraan yang saya tumpangi terpelosok dalam kubangan lumpur. Turun dari kendaraan lalu mendorongnya supaya keluar dari kubangan adalah hal biasa di areal perkebunan kelapa sawit PT Mitra Austral Sejahtera (MAS) itu. Kelelahan karena mendorong kendaraan seakan terbayar lunas sesampainya di Kampung Kampuh.

Gerimis masih turun rintik-ritik ketika saya memasuki beranda rumah Herkulana Rini. Sore itu, Bu Rini, biasa Herkulana Rini dipanggil, menyambut kami dengan hidangan kopi hangat. Tak ketinggalan, ia juga menyuguhkan jagung manis rebus yang baru dipetiknya dari kebun pagi hari.

Melihat kedatanganku, beberapa tetangga kanan kiri rumah Bu Rini mulai berdatangan. Sebetulnya mereka sudah menunggu kedatangan kami dari siang, namun karena yang ditunggu tak datang-datang, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing untuk melepas penat sesaat.

Bu Rini dan juga warga di kampungnya adalah korban dari pembangunan perkebunan besar kelapa sawit PT MAS milik Golden Hope Group, sebuah perusahaan dari Malaysia. Awalnya, perusahaan yang mulai membuka kebun pada tahun 1995 itu memberikan janji-janji muluk, bahwa kelak ketika kebun sawit dibangun rakyat akan sejahtera. Mereka bisa membangun rumah dari semen. Mereka juga bisa membeli kendaraan bermotor, karena jalan mulus beraspal akan dibangun perusahaan sampai ke kampung. Perusahaan akan membangun gereja, gedung sekolah dan balai pengobatan. Mereka juga dijanjikan bisa bekerja di perusahaan dengan gaji bulanan yang tinggi.

Namun apa lacur, janji tinggalah janji. Memang lidah tak bertulang, begitu kata pepatah. Setelah tanah-tanah rakyat dirampas, hanya pekik kemiskinan yang terdengar kian lirih. Memang sebagian dari tanah yang telah diserahkan kemudian dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk kebun kelapa sawit, namun luasnya tidak seperti yang dijanjikan. Kurang dari 2 hektar. Itu pun dibebani kredit yang besarnya entah berapa. Mereka tidak tahu secara pasti. Saban panen Tandan Buah Segar (TBS), hasilnya selalu dipotong oleh perusahaan. Konon untuk potongan kredit, potongan mutu, potongan pupuk, potongan manajemen dan entah potongan apa lagi. Lagi-lagi mereka juga tidak tahu.

Alih-alih mau menyelesaikan masalah itu, perusahaan malah berencana untuk membuka kebun kelapa sawit baru di wilayah yang sama. Kontan saja rencana itu ditentang keras oleh masyarakat, termasuk oleh Bu Rini.

Sebagai seorang guru Sekolah Dasar di kampungnya, Bu Rini terbilang memiliki pergaulan yang cukup luas. Kadang ia suka bepergian ke Ibukota Kabupaten di Sanggau. Ia mendengar telah berdiri organisasi petani kelapa sawit (SPKS) di Kabupaten Sanggau. Kemudian ia mencari tahu di mana sekretariat SPKS berada.

Setelah bertemu dengan Cion Alexander, Sekjen SPKS Sanggau di Sekretariat SPKS di Bodok, Bu Rini lantas tertarik untuk bergabung dengan organisasi petani yang baru didirikan itu. Dalam perkembangannya, Bu Rini malah ditunjuk sebagai Koordinator SPKS Wilayah Bonti. Ia menjadi satu-satunya tokoh perempuan yang cukup vokal menyuarakan kepentingan petani kelapa sawit. Tidak jarang dia harus berhadapan dengan pemerintah.

Merasa geram dengan aktivitas Bu Rini di SPKS, Bupati Sanggau, Yansen Akun Effendi lantas memindahkan Bu Rini dari SD Negeri 13 Kampuh ke sebuah SD Negeri di Kampung Rambai, yang berjarak puluhan kilo meter dari kampungnya. Menanggapi pemindahan ini Bu Rini tampak pasrah. Ini merupakan konsekuensi dari perjuangan.

Keterlibatannya di SPKS membawa perjumpaan Bu Rini dengan Sawit Watch. Berbagai pertemuan dan pelatihan untuk pengembangan kapasitas ia ikuti. Tercatat ia pernah mengikuti dua kali pertemuan RSPO, yakni di Singapura dan Kuala Lumpur. Ia juga pernah mengikuti pelatihan kader perempuan petani sawit yang diselenggarakan oleh Sawit Watch di Bogor.

Berbagai pertemuan dan pelatihan yang diikutinya itu semakin menambah keyakinannya bahwa ketidakadilan yang dirasakan oleh petani kelapa sawit di Sanggau pada khususnya harus dilawan. Dan perlawanan hanya mungkin dilakukan bila petani kelapa sawit terorganisir. Oleh karena itu, ia masih berharap supaya Sawit Watch mau mendampingi SPKS yang baru seumur jagung.

Blogged with Flock

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekolah Dasar

Ini merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Damar. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia menginjakkan kaki di Sekolah Dasar. Tepatnya di SD Bruder Nusa Indah Pontianak. Bagi kebanyakan orang, SD adalah tempat pertama untuk mengenal dunia sekolah. Namanya aja Sekolah Dasar. Namun sebelum memasuki SD, Damar telah masuk di Taman Kanak-kanak Primanda Untan. Mungkin karena namanya TK jadi gak dianggap sekolah, tapi tempat bermain. Namanya khan ada tamannya hehe. OK nak, selamat mengenal dunia yang baru ya. Belajarlah yang tekun, raihlah cita-citamu setinggi langit. Kamu sekarang sudah jadi anak sekolah. Tapi gak kayak Si Doel khan?

Dedeng Alwi

Semak itu dibiarkan tumbuh liar. Kota Palu terasa panas, ketika kakiku menapaki komplek pekuburan itu. Di sini, bersemayam damai jasad sahabatku, Dedeng Alwi. Seorang sahabat yang sangat berkesan dalam hidupku. Tuhan punya rahasia. Dialah yang menentukan kapan saatnya seorang anak manusia dipanggil pulang. Termasuk sahabatku ini, dia dipanggil pulang dalam usia yang belum terlalu tua. Meski sesungguhnya, masih banyak kerja di dunia ini. Dari tanggannya, lahir berpuluh-puluh aktivis lingkungan yang pro rakyat. Maklum, almarhum adalah salah satu dedengkot aktivis LSM di Palu. Karena itu pulalah, aku mengenal sosok almarhum sebagai guru bertangan dingin. Bung, semoga engkau damai di sisi Tuhan Yang Maha Mengerti. Aku sangat kehilangan, sosok sahabat seperti kamu.

Kaki Pelangi

Ini kejadian yang sangat langka. Rabu 27 Juni 2007, sekitar jam 3 sore, Damar anak pertamaku teriak-teriak memanggil ibunya. "Ibu, ibu, ibu sini lihat ada pelangi di depan rumah kita," teriaknya. Ada apa dengan pelangi? bukankah melihat pelangi itu hal biasa? pikir ibunya. Memang betul, kalau kita melihatnya pelangi di atas langit. Tapi yang ini memang beda. Yang dilihat Damar adalah kaki pelangi. Ia melihatnya dari jarak sekitar 3 meter. Pelangi itu ada di depannya. Apa yang dilihat Damar juga dibenarkan oleh ibunya. Istriku itu merinding dibuatnya. Karena selama ini, ia pun baru pertama kali melihat kaki pelangi. Adakah ini fenomena alam biasa? Ataukan tanda keberuntungan bagi orang-orang yang melihatnya? Walahualam, yang jelas Damar dan ibunya telah melihat kaki pelangi, kemarin sore.